Jumat, 30 November 2012

Senyuman Kasih


Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.

Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama “Smiling.” Seluruh siswa diminta untuk pergi keluar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah mudah.

Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran McDonald’s yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.

Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.

Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu “bau badan kotor” yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang “tersenyum” ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima ‘kehadirannya’ di tempat itu.

Ia menyapa “Good day!” sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya ‘tugas’ yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.

Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah “penolong”nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba-tiba saja sudah sampai di depan counter.

Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan “Kopi saja, satu cangkir Nona.” Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu) dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka…

Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua ‘tindakan’ saya.

Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya.. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap “makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua.”

Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan dia hanya mampu berkata “Terima kasih banyak, nyonya.”

Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata “Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian,Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian.”

Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.

Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata “Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan ‘keteduhan’ bagi diriku dan anak-anakku!”

Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar-benar bersyukur dan menyadari, bahwa kami telah mampu memanfaatkan ‘kesempatan’ untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin ‘berjabat tangan’ dengan kami. Salah satu di antaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap “Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami.”

Saya hanya bisa berucap “terimakasih” sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat ke arah kedua lelaki itu, dan seolah ada ‘magnit’ yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar-benar ‘tindakan’ yang tidak pernah terpikir oleh saya.

Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa ‘kasih sayang’ itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!

Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan ‘cerita’ ini di tangan saya. Saya menyerahkan ‘paper’ saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, “Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?” dengan senang hati saya mengiyakan.

Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya di antaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.

Di akhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis di akhir paper saya. “Tersenyumlah dengan ‘HATImu’, dan kau akan mengetahui betapa "dahsyat" dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.”

Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!

Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda, teruskan cerita ini kepada orang-orang terdekat anda. Disini ada ‘malaikat’ yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!

Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya ‘sahabat yang bijak’ yang akan meninggalkan JEJAK di dalam hatimu.
Read More

Nasib Ada Di Tangan Sendiri

Di sebuah desa, ada seorang tua yang sangat dikenal. Namanya disebut-sebut sebagai seorang yang sangat bijaksana, tempat banyak orang bertanya tentang hal apa saja. Petuah dan nasihat si orang tua tersebut jug
a dianggap selalu tepat, sehingga ia sangat dihormati dan disegani.


Suatu ketika, ada dua orang pemuda yang penasaran dengan kebijaksanaan orang tua tersebut. Sebab, mereka mendengar bahwa petuah dan wejangan si orang tua selalu manjur untuk mengatasi berbagai macam persoalan hidup. Mereka saling adu argumentasi tentang benar tidaknya berita tersebut. Maka, mereka pun ingin membuktikan kehebatan orang tua, apakah sesuai dengan yang dibicarakan orang atau tidak.

Hingga, pada sebuah sore yang cerah, mereka mendatangi orang tua bijak tersebut di kediamannya. Salah satu pemuda nampak membawa sesuatu yang sepertinya disembunyikan di tangannya. Ia menggenggam benda tersebut erat-erat, dan menaruhnya di belakang badannya, seolah tidak ingin memperlihatkannya pada orang tua tersebut.

“Wahai Paman. Bolehkan aku bertanya?”

Si orang tua yang saat itu sedang bersantai kemudian menjawab, “Apa yang bisa kubantu?”

“Kami yang muda ini ingin belajar mengetahui banyak hal sebagai bekal hidup nanti. Sayang, sampai saat ini kami belum menemui guru yang kami anggap tepat yang bisa memuaskan dahaga pengetahuan kami. Nah, kami mendengar Paman adalah orang paling bijaksana di desa ini,” tutur salah satu pemuda. “Karena itu, kami ingin bertanya kepada Paman.”

Si orang tua hanya tersenyum mendengar ungkapan pemuda tadi. “Aku hanya orang biasa. Aku tak bisa mengajarkan apa-apa kepadamu Anak muda,” jawab si orang tua merendah. “Aku hanya mencoba menjawab sebisa mungkin pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan orang kepadaku.”

Mendengar jawaban tersebut, maka pemuda yang dari tadi menyembunyikan sesuatu di tangannya segera bertanya, “Kalau Paman memang bisa menjawab semua pertanyaan, cobalah jawab pertanyaanku ini. Aku sedang membawa burung kecil di genggamanku. Apakah burung di tanganku ini dalam keadaan mati atau hidup, wahai Paman?”

Sejenak, si orang tua menatap wajah pemuda itu dalam-dalam. Sembari tetap menebar senyum, ia pun lantas menjawab, “Anak muda, mati atau hidup burung itu ada di tanganmu. Kalau aku katakan burung itu hidup, dengan mudah kau pencet burung itu hingga mati. Tapi, kalau aku katakan burung itu mati, dengan mudah pula kamu melepaskannya untuk hidup bebas ke angkasa. Sama juga dengan kehidupan. Semua sebenarnya ada dalam genggaman tangan kita sendiri. Melalui tangan kita sendirilah nasib ini ditentukan.”

Mendengar jawaban penuh makna tersebut, si pemuda langsung melepaskan burung yang sedari tadi dalam genggamannya. Ia dan temannya segera meminta maaf pada si orang tua karena lancang telah mencoba mengujinya. Mereka juga meminta agar bisa belajar lebih banyak tentang ilmu kehidupan pada si orang tua bijak.

Sebenarnya kita sendirilah yang menentukan nasib kita sendiri. Apakah baik atau buruk, senang atau susah, gembira atau sedih, semua itu bergantung pada bagaimana kita menyikapi hidup dan kehidupan.

Oleh karena itu, kita sebenarnya mempunyai nasib atau takdir laksana sang burung dalam genggaman. Hanya dengan tangan sendirilah kita bisa menentukan apa saja yang dapat kita raih. Melalui kekuatan diri sendiri pulalah kita bisa mewujudkan semua impian.

Maka, mari kita perkaya mental dengan terus berjuang tanpa henti untuk menentukan nasib sendiri! Kita lepaskan belenggu keinginan bergantung pada orang lain, dan menggantinya dengan tekad dan keyakinan diri sendiri, guna meraih sukses seperti yang kita dambakan.

Read More

- Kisah Nyata "Sepucuk Surat Tanpa Tanda Tangan" -



"Mahluk yang paling menakjubkan adalah manusia, karena dia bisa memilih untuk menjadi “setan atau malaikat".
–John Scheffer-

Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.

Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.

Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi di zaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?

Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.

Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.

Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.

Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.

Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.

Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:

—–

“Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.

Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.

Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.

Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?

Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.

Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.

Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.

Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.

Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”

—–

Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.

Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya. Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.

Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.

Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.

Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.

Yuni menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.” Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.

Artikel ini dikirim oleh seseorang yang tidak ingin dilampirkan namanya. Semoga saja bisa bermanfaat.

Read More

Kisah Sumpit Sepanjang Meja


Di zaman kerajaan Dinasti Ming masih berkuasa hiduplah seorang saudagar kaya pemilik restoran Hong Liong di daerah Tiongkok sebelah selatan. Restoran “Burung Hong” itu sangat terkenal karena makanannya sangat 
khas dan rasanya yang luar biasa. saudagar pemilik restoran tersebut juga sangat dihormati di daerah tersebut karena sering menyumbangkan harta kekayaannya untuk kaum papa.


Namun sangatlah disayangkan saudagar itu tidak diberkahi oleh keturunan seorangpun. Menjelang usianya memasuki tahun ke-80, saudagar tersebut hendak menyerahkan restorannya kepada orang yang dipercayanya mampu mengelola restoran tersebut dengan baik. Tapi sebagai syaratnya mereka harus menyumbangkan setengah dari pendapatan restoran itu untuk kaum papa (Orang-Orang Tidak Mampu).

Setelah itu diundanglah seluruh pedagang di daerah tersebut untuk datang ke jamuan makan malam yang diselenggarakannya. Terdapat dua puluh meja bundar yang diatasnya sudah terhidang bermacam sayuran yang sangat menarik. Tiap meja ada 4 buah kursi dan 4 buah peralatan makan berupa sumpit. Namun anehnya ke – 4 sumpit tersebut mempunyai panjang sama dengan lebar mejanya

Duduklah ke – 80 pedagang tersebut dengan air liur yang mulai menetes mencium aroma masakan yang selangit tersebut. Sesaat sebelum makan saudagar tersebut memberikan kata sambutan yang isinya kurang lebih menyatakan bahwa dia akan memilih 4 dari ke – 80 pedagang tersebut sebagai penerus restorannya setelah jamuan berakhir.

Maka dimulailah jamuan makan tersebut. Masing – masing pedagang tersebut telah memegang sumpit* mereka dan menjepit sayuran yang diinginkannya. Sementara sang saudagar tersebut berjalan mengelilingi meja-meja tersebut. Muka sang saudagar tersebut terlihat sangat sedih setelah melewati meja ke – 12 dan belum ada satupun pedagang yang mampu memasukkan sayuran yang dijepit sumpit* tersebut ke dalam mulut. Masing – masing pedagang tersebut mencoba cara – cara aneh agar mampu memasukkan makanan yang dijepit sumpit* masing – masing ke dalam mulut masing – masing dan tentu saja itu tidak akan berhasil karena panjang sumpit* tersebut selebar meja. Saat sang saudagar melewati meja ke – 19 dia mulai kehilangan harapannya untuk mendapatkan penerus restorannya karena yang dia lihat hanyalah sekumpulan orang – orang serakah yang hanya mementingkan keinginan masing – masing.

Saat menuju meja ke – 20 tersenyumlah saudagar tersebut seraya berkata pada dirinya sendiri bahwa ke – 4 orang inilah yang akan meneruskan restorannya. Rupanya ke – 4 orang yang berada di meja ke – 20 saling menyuapi lawan di seberangnya karena panjang sumpit* tersebut memang cukup untuk sampai ke seberang mejanya. Akhirnya saat jamuan makan selesai hanya ke – 4 orang inilah yang kenyang perutnya sedang yang lain sibuk menggerutu karena tidak ada secuilpun makanan yang masuk dalam mulut mereka. Sang saudagar pergi meninggalkan restorannya dengan hati gembira karena tahu bahwa restorannya akan dikelola oleh 4 orang yang bijaksana.

Pesan moral dari cerita ini adalah agar jadi orang jangan terlalu serakah, karena dengan tidak mau berbagi keuntungan dengan orang lain maka orang lain juga tidak akan mau berbagi dengan Anda. Bila tiap orang hanya memikirkan dirinya masing – masing maka tidak akan pernah mencapai kemajuan team. Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa 4 kaki akan lebih baik daripada 2 kaki ; atau bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Pepatah – pepatah yang dibuat orang – orang bijak jaman dahulu kala bukanlah sekadar penghias omong kosong, mereka mampu membuat pepatah tersebut karena sudah ada kejadiannya dan hasilnya.

Buktikanlah sendiri, bila Anda mau memberi maka Anda akan menerima kembali lebih baik, mungkin bukan dalam bentuk yang sama ketika Anda berikan, tapi pasti sesuatu tersebut Anda dapatkan saat Anda memang membutuhkannya.

Sesungguhnya apa yang kamu tabur, itulah yang akan kamu petik. Penabur kebaikan akan menuai berkah, sedangkan penabur kejahatan akan menuai petaka. Taburkanlah olehmu benih-benih kebaikan dan kebenaran, sehingga kelak dapat memanen berkah berlimpah
Read More

Kamis, 29 November 2012

Anak 6 Tahun, Memulung Demi Menghidupi Ayahnya yang Lumpuh



Satu lagi sebuah kisah yang sangat mengharukan dari Negeri Tirai Bambu, seorang anak kecil di Dajiyuan, menghidupi ayahnya yang lumpuh dengan menjadi seorang pemulung. Karena ayahnya lumpuh bertahun-tahun, anak yang baru berumur 6 tahun ini terpaksa memikul tanggung jawab rumah tangga. Selain setiap hari mencuci muka ayahnya, memijat dan memberi makan, dia masih bersama ibunya mengambil botol air mineral bekas sebagai tambahan pendapatan keluarga. Cerita Tse Tse ini banyak menyentuh hati teman di internet, hanya beberapa jam, sudah puluhan ribu orang yang mengkliknya.

Begitu sampai di rumah, Tse Tse langsung sibuk menyiapkan seember air, lantas dengan tangannya yang mungil ia memeras selembar handuk yang besar, karena handuk terlalu besar buat dia, Tse Tse membutuhkan 3 sampai 4 menit baru bisa mengeringkannya, kemudian dengan handuk itu dia menyeka wajah ayahnya dengan lap itu. Dia sangat teliti melapnya, sepertinya khawatir kurang bersih. Setelah selesai, Tse Tse kemudian berjingkat melap punggung ayahnya, di belakang, selesai semua, dengan puas dia tersenyum ke ayahnya.

Tse Tse tahun ini berumur 6 tahun, baru kelas 1 SD, tinggal di jalan Baoan, desa Nantong, papanya Xiong Chun pada 5 tahun lalu tiba-tiba menderita otot menyusut, di bawah leher semua lumpuh, untuk mengobati penyakitnya dia telah menghabiskan semua tabungannya. Sekarang, keluarga yang beranggotakan 3 orang ini hanya mengandalkan ibunya yang bekerja di pabrik, dengan penghasilan kecil itulah mereka bertahan hidup.

Di sekolah Houde, anak yang seumur dengannya dengan ceria bergandeng tangan dengan orang tuanya sambil berjalan, namun Tse Tse malah harus sekuat tenaga mendorong ayahnya pulang. Ketika mau menyeberang jalan, dia akan berhenti sejenak, menoleh kendaraan yang lalu lalang, setelah aman dia baru menyeberang. Setiap ketemu tempat yang tidak rata, Tse Tse harus mengeluarkan tenaga ekstra menaikkan roda depan, menarik kursi roda itu dari belakang, wajahnya yang mungil sampai terlihat kemerahan. Dari sekolah sampai rumah jaraknya sekitar 1.500 meter, harus ditempuh selama 20 menit.

Rumah Tse Tse adalah sebuah rumah dengan kamar kecil seukuran 8 m2, hanya besi seng menutupi atap yang menghalangi cahaya masuk ke kamar, di atap tergantung sebuah lampu energi kecil. Dalam rumah penuh debu, yang paling mencolok adalah penghargaan Tse Tse yang tergantung di dinding. Terhadap sekeluarga yang pendapatan bulanannya hanya sekitar 1.000 RMB (Rp. 1,5 juta) bisa dikatakan, sebuah TV 21″ sudah merupakan barang mewah.

Sebuah ranjang atas dan bawah sudah memenuhi seluruh kamar, di atasnya penuh dengan barang pecah belah, hanya tersisa sedikit ruang kecil. Xiong Chun berkata, itu adalah ranjang Tse Tse. Sebuah meja lipat tergantung di dinding, itu adalah meja belajar Tse Tse, juga adalah meja makan keluarga.

Di samping pintu yang luasnya tidak sampai 1 m2, ada “dapur” yang dibuatnya sendiri, di samping kompor masih tersisa sebatang kubis. “Makanan dan minyak di rumah semua diberikan oleh teman mamanya, satu hari tiga kali makan, cuma makan malam yang agak lumayan, di rumah jarang makan daging, namun setiap minggu mereka akan mengeluarkan sedikit biaya untuk mengubah kehidupan anaknya, namun setiap kali makan, Tse Tse akan membiarkan saya makan dulu, baru dia makan.” Kata Xiong Chun.

Mama Tse Tse bekerja di pabrik, setiap siang hari dia akan menyisakan sedikit waktu pulang ke rumah menanak nasi untuk suaminya, setelah menyuapi dia segera balik ke pabrik bekerja, tanggung jawab merawat suaminya semua di bebankan ke pundak Tse Tse.

Xiong Chun memberitahu wartawan, setiap pagi jam 6.30 begitu jam alarm berbunyi, Tse Tse akan bangun, cuci muka dan sikat gigi, dia juga membantu papanya mencuci muka, selesai itu dia akan memijat tangan dan kaki papanya, kira-kira 10 menit. Pulang sekolah sore, dia akan memijat papanya lagi, malam setelah memandikan papanya, dia akan memijat papanya lagi, baru tidur.

“Agar bisa lebih banyak membantu mamanya, Tse Tse kadang-kadang ikut mamanya memungut barang bekas untuk menambah penghasilan keluarga.” Xiong Chun sangat sayang anaknya. Tetangga di sekeliling sangat terharu dan mengatakan: “Tse Tse sangat mengerti. Kita semua merasa bangga ada anak seperti ini.”

Mama membawa dia memungut botol air bekas untuk menambah penghasilan. Suatu ketika, Tse Tse memungut satu mainan mobil plastik bekas di tempat sampah, dia bagaikan mendapat barang pusaka, setiap hari akan main sebentar dengan mobil plastiknya itu. Yang Xianfui berkata, kemarin mama dan anak pergi memungut besi bekas, bisa dijual 20 Yuan.

Tse Tse punya satu boneka kecil yang lucu, itu yang paling disayanginya. Malam hari juga mengendongnya tidur. “Dia melihat boneka itu di toko, beberapa kali dia memintanya, 5 Yuan, saya tidak tega terus, akhirnya saya nekat membelikannya,” Kata Xiong Chun.

Untuk mengirit biaya listrik,setiap hari begitu pulang sekolah Tse Tse akan memindahkan “Meja kecilnya” keluar, mengejar siang hari menyelesaikan PR-nya. “Uang sekolahnya setahun sekitar 3.000 sampai 4.000, kami tidak sanggup. Karena tidak ada uang, tahun ini saya juga melepaskan berobat lagi,” kata Xiong Chun. Beberapa waktu yang lalu, dia berbicara dengan istrinya agar Tse Tse berhenti sekolah saja, Tse Tse begitu tahu langsung menangis.

Xiong Chun berteriak, “Hidup normal saja bermasalah, masih harus kasih dia sekolah, sungguh susah, bila sudah tidak mungkin, biar dia berhenti saja.” Tse Tse yang sedang bermain boneka, begitu mendengar kata papanya, langsung menangis. Xiong Chun menarik Tse Tse ke sisinya, membujuk: “Papa akan usahakan kamu sekolah, biar kamu bisa sekolah!” Setelah dibujuk beberapa kali, Tse Tse baru berhenti menangis, dengan tangan mungilnya dia menyeka air matanya.

“Terhadap Tse Tse, saya sungguh menyesal….,” sambil menangis tersedu, Xiong Chun sudah tidak dapat berkata lagi. Xiong Chun berkata: “Saya percaya pasti akan sembuh, Tse Tse adalah harapan saya”
Read More

Menerobos Lampu Merah


Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jono segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat.

Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama.

Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Jono berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala.

Jono bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.

Prit…..!!!

Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jono menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing. Hey, itu khan Bobi, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jono agak lega.

Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.

“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”

“Hai, Jon.” Tanpa senyum.

“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”

“Oh ya?”
Tampaknya Bobi agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.

“Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”

“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”

Oooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jono harus ganti strategi.

“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah.. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.”

Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

“Ayo dong Jon. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu.”

Dengan ketus Jono menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bobi menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bobi mengetuk kaca jendela. Jono memandangi wajah Bobi dengan penuh kecewa.Dibukanya kaca jendela itu sedikit.

Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobi kembali ke posnya. Jono mengambil surat tilang yang diselipkan Bobi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jono membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bobi.

“Halo Jono, Tahukah kamu Jon, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jon. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Bobi)”.

Jono terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bobi. Namun, Bobi sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan… ….

Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati. Drive Safely Guys......
Read More

Rabu, 28 November 2012

Kebaikan Melindungi Sang Pelaku (Kisah Sang Maestro Matsushita)



Di tahun 1929, pernah terjadi 'depresi ekonomi global'. Wall Street menukik tajam tak terkendali. Surat saham tak lebih nilainya seperti kertas biasa.

Saat itu, General Motor terpaksa mem-PHK separo dari 92.829 karyawannya. Perusahaan besar maupun kecil bangkrut

Jutaan orang menjadi pengangguran. Jutaan orang kelaparan. Daya beli turun bersama harga dan lowongan pekerjaan.

Malam menjadi gelap gulita. Kepanikan terjadi di mana-mana. Toko yang masih bertahan, menghentikan pembelian dari pabrik karena gudang sudah penuh dengan barang yang tidak terjual.

Saat itu, Konosuke Matsushita yang memproduksi peralatan listrik bermerek National dan Panasonic baru saja merampungkan pabrik dan kantor dengan pinjaman dari Bank Sumitomo.

Kondisi badannya sering sakit-sakitan akibat gizi yang kurang di masa kanak-kanak, ditambah lagi dengan kerja 18 jam sehari, 7 hari seminggu selama 12 tahun merintis usahanya. Hanya semangat hiduplah yang membuatnya masih bernapas.

Dengan punggung bersandar ke tembok rumah, Matsushita mendengarkan laporan tentang kondisi perekonomian yang terus memburuk ketika manajemennya datang menjenguk. Lalu bagaimana tanggapannya ?

"Kurangi produksi separonya, tetapi JANGAN mem-PHK karyawan. Kita akan mengurangi produksi bukan dengan merumahkan pekerja, tetapi dengan meminta mereka untuk bekerja di pabrik hanya setengah hari.

Kita akan terus membayar upah seperti yang mereka terima sekarang, tetapi kita akan menghapus semua hari libur. Kita akan meminta semua pekerja untuk bekerja sebaik mungkin dan berusaha menjual semua barang yang ada di gudang."

Perintah ini bagi anak buahnya sama anehnya dengan depresi ekonomi itu sendiri. Koq bisa terjadi, yah ?

Dalam situasi begitu, sangatlah masuk akal jika perusahaan mem-PHK karyawan demi efisiensi. Namun Matsushita karena keyakinannya pada sang kebajikan sudah mantap, demi kelangsungan hidup anak-istri karyawannya, akhirnya mampu menghasilkan terobosan yang manusiawi pada masa depresi ekonomi tersebut.

Kebajikan Matsushita terhadap karyawannya mendapatkan hasil yang manis 16 tahun kemudian dari karyawan yang pernah ditolongnya. Ia menuai buah kebajikannya sendiri.

Ketika Perang Dunia II berakhir, Jenderal Douglas McArthur yang mengendalikan Jepang, menangkapi semua pengusaha Jepang untuk diadili karena keterlibatan mereka selama perang.

Pada kurun 1930-an, para pengusaha Jepang, termasuk Matsushita, mendapat tekanan rezim militer Jepang saat itu untuk memproduksi senjata dan logistik militer lainnya. Maka Matsushita pun ikut ditangkap.

Sekitar 15.000 pekerja bersama keluarganya membubuhkan tanda tangan petisi pembelaan untuk Matsushita !!! Jenderal McArthur pun tercengang oleh petisi tersebut dan akhirnya membebaskan Matsushita.

Tidak ada pemilik usaha dan pimpinan industri sebelum perang dunia kedua yang diizinkan McArthur kembali ke pekerjaannya kecuali Matsushita.

Demikianlah Matsushita dapat terus memimpin perusahaannya sampai menjadi raksasa elektronik dunia, dan baru pensiun pada tahun 1989 pada usia 94 tahun.

Ketika Matsushita meninggal tahun 1990, bukan cuma para pebisnis yang berduka cita. Presiden Amerika saat itu, George Bush (Senior), pun turut berduka.

Matsushita berhasil membangun dirinya melewati ambang batas pengusaha yang umumnya selalu lapar duit dan haus fulus serta menjadi pribadi yang humanis dan filsuf yang sangat peduli terhadap kemanusiaan.

Bagi Matsushita, uang bukanlah tujuan. Meskipun butuh uang tetapi uang bukanlah segala-galanya. Baginya, uang adalah sarana untuk melakukan kebajikan.

Itu sebabnya, beliau tidak pernah menggigit orang, main curang, atau merebut jatah orang lain. Matsushita yakin bahwa kalau kita tidak jahat dan terus berbuat baik maka kejahatan akan menjauhi kita dan kebaikan akan melindungi kita.

Read More

Berhenti dan Dengarkan



Ini sangatlah luar biasa. Mohon luangkan waktu Anda sejenak untuk membaca:

Seorang pria duduk di stasiun di Washington DC dan mulai bermain biola. Saat itu pagi Januari yang dingin. Dia memainkan 6 lagu Bach selama kurang lebih 45 menit. Di waktu tersebut, karena pada jam sibuk, di perkirakan ada sekitar 1,100 orang melewat stasiun tersebut, banyak diantara mereka dalam perjalanan kerja.

Tiga menit berlalu, dan ada seorang pria tua memperhatikan bahwa ada seorang musisi bermain. Dia memperlambat kecepatannya, dan berhenti beberapa detik, dan kemudian dengan segera tergesa-gesa untuk menemui jadwalnya.

Semenit kemudian, pemain biola itu menerima tips 1 dollar pertamanya: seorang wanita melemparkan uang tersebut tanpa berhenti dan melanjutkan berjalan.

Beberapa menit kemudian, seseorang bersandar di dinding untuk mendengarkannya, tetapi pria tersebut melihat jamnya dan mulai berjalan lagi. Jelas bahwa dia terlambat untuk kerja.

Seseorang yang memperhatikan dengan sangat adalah seorang bocah berumur 3 tahun. Ibunya membawanya serta, terburu-buru tetapi anak tersebut berhenti untuk melihat sang pemain biola. Akhirnya, ibunya mendorong dengan kuat, dan anak tersebut kembali berjalan, sambil membalikkan kepalanya. Aksi ini terulang oleh beberapa anak lainnya. Setiap orang tua, tanpa terkecuali, memaksa mereka untuk lanjut berjalan.

Dalam 45 menit musisi itu bermain, hanya 6 orang yang berhenti dan berdiam diri untuk sesaat. Sekitar 20 orang memberikannya uang, tetapi lanjut berjalan dalam kecepatan normal mereka. Dia mengumpulkan $32. Ketika dia selesai bermain dan keheningan muncul, tidak ada seorang pun memperhatikannya. Tidak ada seorangpun yang bertepuk tangan atau ada penghargaan apapun.

Tidak ada seseorangpun yang mengetahuinya, bahwa sang pemain biola adalah Joshua Bell, salah seorang musisi paling bertalenta di dunia. Ia baru saja memainkan salah satu musik terumit yang pernah dituliskan, dalam sebuah biola seharga 3.5 juta dollar.

Dua hari sebelum permainannya di kereta api bawah tanah, Joshua Bell bermain dalam sebuah teater di Boston dengan tiket yang sold-out dengan harga rata-rata $100.

Ini adalah cerita nyata. Joshua Bell menyamar untuk bermain di stasiun dan acara tersebut diatur oleh Washington Post sebagai bagian dari eksperimen sosial tentang persepsi, rasa dan prioritas dari orang-orang. Bahan percobaannya adalah: dalam sebuah lingkungan yang umum pada waktu yang tidak tepat: Apakah kita menghargai sebuah keindahan? Apakah kita akan berhenti untuk menghargainya? Apakah kita akan mengenal talenta tersebut dalam konteks yang tidak terduga?

Salah satu kesimpulan yang mungkin bisa diambil dari percobaan ini adalah:

Jikalau kita tidak memiliki waktu untuk berhenti dan mendengarkan salah seorang musisi terbaik di dunia memainkan musik terbaik yang pernah ditulis, berapa banyak hal lainnya yang kita telah kehilangan?

Berhentilah sejenak dan dengarkan.

Sering kali kita bergerak terlalu cepat dan terburu-buru sehingga kita kehilangan begitu banyak hal berharga di dalam hidup kita.

Jikalau Anda suka kejadian nyata ini dan menginspirasi Anda, share kepada teman-teman Anda agar menjadi inspirasi dan pengingat bagi mereka juga

Read More

Kisah Nyata Anak Durhaka dari Singapura



Sebuah Kisah Nyata dari Negeri tetangga Singapura beberapa dekade lalu yang cukup menghebohkan hingga Perdana Menteri saat itu, Lee Kwan Yew senior turun tangan dan mengeluarkan dekrit tentang orang lansia di Singapura.

Dikisahkan ada orang kaya raya di sana mantan Pengusaha sukses yang mengundurkan diri dari dinia bisnis ketika istrinya meninggal dunia. Jadilah ia single parent yang berusaha membesarkan dan mendidik dengan baik anak laki-laki satu-satunya hingga mampu mandiri dan menjadi seorang Sarjana.

Kemudian setelah anak tunggalnya tersebut menikah, ia minta ijin kepada ayahnya untuk tinggal bersama di Apartemen Ayahnya yang mewah dan besar. Dan ayahnya pun dengan senang hati mengijinkan anak menantunya tinggal bersama-sama dengannya. Terbayang dibenak orangtua tersebut bahwa apartemen nya yang luas dan mewah tersebut tidak akan sepi, terlebih jika ia mempunya cucu. Betapa bahagianya hati bapak tersebut bisa berkumpul dan membagi kebahagiaan dengan anak dan menantunya.

Pada mulanya terjadi komunikasi yang sangat baik antara Ayah-Anak-Menantu yang membuat Ayahnya yang sangat mencintai anak tunggalnya itu tersebut tanpa sedikitpun ragu-ragu mewariskankan seluruh harta kekayaan termasuk apartment yang mereka tinggali, dibaliknamakan ke anaknya itu melalui Notaris terkenal di sana.

Tahun-tahun berlalu, seperti biasa, masalah klasik dalam rumah tangga, jika anak menantu tinggal seatap dengan orang tua, entah sebab mengapa akhirnya pada suatu hari mereka bertengkar hebat yang pada akhirnya, anaknya tega mengusir sang Ayah keluar dari apartment mereka yang ia warisi dari Ayahnya.

Karena seluruh hartanya, Apartemen, Saham, Deposito, Emas dan uang tunai sudah diberikan kepada anaknya, maka mulai hari itu dia menjadi pengemis di Orchard Rd. Bayangkan, orang kaya mantan pebisnis yang cukup terkenal di Singapura tersebut, tiba-tiba menjadi pengemis!

Suatu hari, tanpa disengaja melintas mantan teman bisnisnya dulu dan memberikan sedekah, dia langsung mengenali si ayah ini dan menanyakan kepadanya, apakah ia teman bisnisnya dulu. Tentu saja, si ayah malu danmenjawab bukan, mungkin Anda salah orang, katanya. Akan tetapi temannya curiga dan yakin, bahwa orang tua yang mengemis di Orchad Road itu adalah temannya yang sudah beberapa lama tidak ada kabar beritanya. Kemudian, temannya ini mengabarkan hal ini kepada teman-temannya yang lain, dan mereka akhirnya bersama-sama mendatangi orang tersebut. Semua mantan sahabat karibnya tersebut langsung yakin bahwa pengemis tua itu adalah Mantan pebisnis kaya yang dulu mereka kenal.

Dihadapan para sahabatnya, si ayah dengan menangis tersedu-sedu, menceritakan semua kejadian yang sudah dialaminya. Maka, terjadilah kegemparan di sana, karena semua orangtua di sana merasa sangat marah terhadap anak yang sangat tidak bermoral itu.

Kegemparan berita tersebut akhirnya terdengar sampai ke telinga PM Lee Kwan Yew Senior.

PM Lee sangat marah dan langsung memanggil anak dan menantu durhaka tersebut. Mereka dimaki-maki dan dimarahi habis-habisan oleh PM Lee dan PM Lee mengatakan "Sungguh sangat memalukan bahwa di Singapura ada anak durhaka seperti kalian" .

Lalu PM Lee memanggil sang Notaris dan saat itu juga surat warisan itu dibatalkan demi hukum! Dan surat warisan yang sudah baliknama ke atas nama anaknya tersebut disobek-sobek oleh PM Lee. Sehingga semua harta milik yang sudah diwariskan tersebut kembali ke atas nama Ayahnya, bahkan sejal saat itu anak menantu itu dilarang masuk ke Apartment ayahnya.

Mr Lee Kwan Yew ini ternyata terkenal sebagai orang yang sangat berbakti kepada orangtuanya dan menghargai para lanjut usia (lansia). Sehingga, agar kejadian serupa tidak terulang lagi, Mr Lee mengeluarkan Kebijakan / Dekrit yaitu "Larangan kepada para orangtua untuk tidak mengwariskan harta bendanya kepada siapapun sebelum mereka meninggal. Kemudian, agar para lansia itu tetap dihormati dan dihargai hingga akhir hayatnya, maka dia buat Kebijakan berupa Dekrit lagi, yaitu agar semua Perusahaan Negara dan swasta di Singapura memberi pekerjaan kepada para lansia. Agar para lansia ini tidak tergantung kepada anak menantunya dan mempunyai penghasilan sendiri dan mereka sangat bangga bisa memberi angpao kepada cucu-cucunya dari hasil keringat mereka sendiri selama 1 tahun bekerja.

Anda tidak perlu heran jika Anda pergi ke Toilet di Changi Airport, Mall, Restaurant, Petugas cleaning service adalah para lansia. Jadi selain para lansia itu juga bahagia karena di usia tua mereka masih bisa bekerja, juga mereka bisa bersosialisasi dan sehat karena banyak bergerak. Satu lagi sebagaimana di negeri maju lainnya, PM Lee juga memberikan pendidikan sosial yang sangat bagus buat anak-anak dan remaja di sana, bahwa pekerjaan membersihkan toilet, meja makan diresto dsbnya itu bukan pekerjaan hina, sehingga anak-anak tsb dari kecil diajarkan untuk tahu menghargai orang yang lebih tua, siapapun mereka dan apapun profesinya.

Sebaliknya, Anak di sana dididik menjadi bijak dan terus memelihara rasa hormat dan sayang kepada orangtuanya, apapun kondisi orangtuanya.

Meskipun orangtua mereka sudah tidak sanggup duduk atau berdiri,atau mungkin sudah selamanya terbaring diatas tempat tidur, mereka harus tetap menghormatinya dengan cara merawatnya.

Mereka, warganegara Singapura seolah diingatkan oleh PM Lee agar selalu mengenang saat mereka masih balita, orangtua merekalah yang membersihkan tubuh mereka dari semua bentuk kotoran, juga yang memberi makan dan kadang menyuapinya dengan tangan mereka sendiri, dan menggendongnya kala mereka menangis meski dini hari dan merawatnya ketika mereka sakit.

Hormatilah, Kasihilah, Sayangilah orang tuamu selama mereka masih ada di sisimu ...

Read More

"Kisah Bai Fang Li, Tukang Becak Tua Berhati Mulia" (Kisah Nyata)



Kisah Bai Fang Li ini di harapkan dapat menjadi pelajaran buat kita semua untuk saling membantu sesama kita yang kesusahan, walaupun hidup serba pas-pasan tetapi tetap membantu orang tanpa pamrih dengan apapun yang bisa kita berikan. jika kamu percaya berkah itu datangnya bisa datang dari mana saja dan pahala yang setimpal akan kita dapatkan jika kita melakukan kebaikan dengan "IKHLAS".

Tak perlu menggembar-gemborkan sudah berapa banyak kita menyumbang orang karena mungkin belum sepadan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Bai Fang Li. Kebanyakan dari kita menyumbang kalau sudah kelebihan uang. Jika hidup pas-pasan keinginan menyumbang hampir tak ada. 

Bai Fang Li berbeda. Ia menjalani hidup sebagai tukang becak. Hidupnya sederhana karena memang hanya tukang becak. Namun semangatnya tinggi. Pergi pagi pulang malam mengayuh becak mencari penumpang yang bersedia menggunakan jasanya. Ia tinggal di gubuk sederhana di Tianjin, China.

Ia hampir tak pernah beli makanan karena makanan ia dapatkan dengan cara memulung. Begitupun pakaiannya. Apakah hasil membecaknya tak cukup untuk membeli makanan dan pakaian? Pendapatannya cukup memadai dan sebenarnya bisa membuatnya hidup lebih layak. Namun ia lebih memilih menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk menyumbang yayasan yatim piatu yang mengasuh 300-an anak tak mampu.

Bai Fang Li mulai tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun. Saat itu ia tak sengaja melihat seorang anak usia 6 tahunan yang sedang menawarkan jasa untuk membantu ibu-ibu mengangkat belanjaannya di pasar. Usai mengangkat barang belanjaan, ia mendapat upah dari para ibu yang tertolong jasanya.

Namun yang membuat Bai Fang Li heran, si anak memungut makanan di tempat sampah untuk makannya. Padahal ia bisa membeli makanan layak untuk mengisi perutnya. Ketika ia tanya, ternyata si anak tak mau mengganggu uang hasil jerih payahnya itu untuk membeli makan. Ia gunakan uang itu untuk makan kedua adiknya yang berusia 3 dan 4 tahun di gubuk di mana mereka tinggal. Mereka hidup bertiga sebagai pemulung dan orangtuanya entah di mana.

Bai Fang Li yang berkesempatan mengantar anak itu ke tempat tinggalnya. Setelah itu ia membawa ketiga anak itu ke yayasan yatim piatu di mana di sana ada ratusan anak yang diasuh. Sejak itu Bai Fang Li mengikuti cara si anak, tak menggunakan uang hasil mengayuh becaknya untuk kehidupan sehari-hari melainkan disumbangkan untuk yayasan yatim piatu tersebut.

Bai Fang Li memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan manfaat dari uang sumbangannya. Pada tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu dengan ringkih. Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia membawa sumbangan terakhir sebanyak 500 yuan atau setara dengan Rp 675.000.

Dengan uang sumbangan terakhir itu, total ia sudah menyumbang 350.000 yuan atau setara dengan Rp 472,5 juta. Anaknya, Bai Jin Feng, baru tahu kalau selama ini ayahnya menyumbang ke yayasan tersebut. Tahun 2005, Bai Fang Li meninggal setelah terserang sakit kanker paru-paru.

Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang orang yang luar biasa. Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak yang tak beruntung. Meski hidup dari mengayuh becak (jika diukur jarak mengayuh becaknya sama dengan 18 kali keliling bumi), ia punya kepedulian yang tinggi yang tak terperikan.

Read More

Keajaiban Hidup


Kabar buruk itu sampai juga di telinga Doni. Dia divonis kanker paru-paru oleh dokter. Kisah kehidupannya yang sebelumnya sering dia bangga-banggakan kini serasa hancur tiada arti lagi. Doni tahu kanker paru-paru merupakan penyebab kematian paling utama dibandingkan kanker-kanker lainnnya. Namun tak ingin lama-lama tenggelam dalam kesedihan, dicobanya segala cara untuk menyembuhkan penyakit yang tengah menggerogoti tubuhnya itu, bahkan dia tak segan-segan mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkan perawatan terbaik di salah satu rumah sakit ternama di luar negeri.

Berbagai pengobatan dan sesi kemoterapi telah dilaluinya. Namun keberuntungan tak berpihak padanya. Keadaannya tak kunjung membaik, bahkan hanya semakin memburuk. Kanker stadium IV kini bercokol di paru-parunya. Keluarganya mencoba untuk memberikan motivasi dan semangat agar dia tak menyerah.

Satu ketika dia menemukan alamat seseorang yang konon katanya mampu menyembuhkan kanker ganas sekalipun. Doni mendatangi kediaman orang tersebut, diceritakannya tentang riwayat penyakitnya kepada Pak Syukur, nama orang itu, yang berjanji akan berusaha untuk menyembuhkan Doni.

Waktu berlalu, meskipun kondisi Doni mulai agak membaik tapi kanker itu masih bersarang di tubuhnya. Doni menyadari waktunya yang semakin menipis.

“Tak adakah pengobatan lain yang bisa membantuku, Pak?” tanya Doni saat rasa ketakutan akan kematian mulai menguasai benaknya. “Aku sering mendengar tentang keberhasilan anda dalam menyembuhkan pasien-pasien lainnya… Lalu apa yang terjadi denganku?”

Pak Syukur menghembuskan napas, dan mencoba untuk menyabarkan Doni, “Nak Doni, aku hanyalah seorang manusia biasa yang hanya bisa berupaya untuk memberikan pengobatan terbaik untuk pasien-pasienku.”, “Aku mungkin telah membantu meringankan sakit itu, namun keajaibanlah yang telah menyembuhkan mereka.” tambahnya pelan.

“Keajaiban?” sesaat Doni tertegun. “Seandainya di dunia ini ada dijual keajaiban, aku rela membayar berapa pun meski harus menghabiskan seluruh hartaku.” sahut Doni lemah meratapi ketidakberuntungannya.

Pak Syukur berpikir sejenak lalu beliau mulai menuliskan sesuatu dan menyerahkannya kepada Doni. “Datangilah tempat ini, Nak Doni.”, “Tempat dimana mungkin kamu bisa membeli keajaiban itu.”

“Be.. benarkah?” tanya Doni ragu, ia takkan mudah percaya hal mustahil seperti itu.

“Cobalah kau datangi, tak ada salahnya kan?”

“Seandainyapun tempat ini memang benar menjual keajaiban, lalu dengan apa aku bisa membelinya, Pak?”

Kembali Pak Syukur menyerahkan selembar catatan yang lain. “Bacalah setibanya engkau di tempat itu.”

Pada awalnya Doni tidak memperdulikannya, namun berselang beberapa hari akhirnya dia mendatangi juga tempat yang dimaksud oleh Pak Syukur.

Akan tetapi betapa terkejutnya Doni setelah mendapatkan tempat yang menjadi tujuannya ternyata adalah sebuah rumah ibadah yang indah. Doni mengambil lembaran kertas yang satu lagi dan membaca pesan yang tertulis di dalamnya.

‘Sesungguhnya kamu bisa mendapatkan keajaiban itu dimana saja dan kapan saja. Tetapi alangkah baiknya jika engkau mencarinya langsung di rumahNya… Dan untuk bayarannya? Sekarang berbaliklah dan cobalah memposisikan dirimu sebagai seseorang yang hendak menikmati sebuah karya seni yang tak sedikitpun bagian akan terlewatkan oleh pandanganmu… Bukalah matamu, nak…’

Doni membalikkan tubuhnya, dilihatnya sebuah panti untuk penderita cacat berdiri tepat di seberang jalan. Beberapa pengemis dan anak jalanan di sepanjang jalan tak luput pula dari perhatiannya, mereka mencoba menghampiri beberapa orang yang berseliweran demi meminta sedikit rejeki untuk sesuap nasi. Kembali Doni melanjutkan membaca catatan Pak Syukur.

‘… Berdoa, memohonlah dengan tulus kepada Sang Pemberi Keajaiban dan lakukanlah kebaikan dalam hidupmu, anakku. Begitulah harga yang mungkin bisa kau berikan untuk mendapatkan keajaiban yang kau cari. Dan niscaya bila Dia berkehendak, keajaiban itupun akan datang…’

Masih terus dibacanya pesan yang tertulis di kertas itu. Dan tanpa Doni sadari, setetes dua tetes air mata kini membasahi pipinya. Dia mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali dia bersujud menghadapNya? Akh… Tak bisa diingatnya lagi… Dan diapun menyadari betapa alpanya dia selama ini.

Doni mulai mengisi hari-hari tak lagi hanya untuk mengobati penyakit yang menderanya, kini diapun taat melaksanakan ibadah dan banyak membantu orang-orang yang membutuhkan. Dia tak lagi hanya peduli akan dirinya sendiri, melainkan mulai melihat orang-orang lain di sekitarnya. Beberapa hal yang terabaikan olehnya selama bertahun-tahun.

Hari berganti minggu… Minggu berganti bulan…

Di suatu hari yang cerah, lima bulan semenjak Doni menginjakkan kakinya pertama kali di rumah Tuhan yang kecil itu… Kini ia terbaring lemah di sebuah pembaringan rumah sakit, sudah tiga hari ini kondisi kesehatannya benar-benar menurun. Bayangan peristiwa-peristiwa beberapa bulan terakhir berkelebat di benaknya.

Doni memandang Pak Syukur yang duduk di sisi tempat tidur, Doni memang sengaja memintanya datang. Ia tersenyum,

“Bapak masih ingat kejadian beberapa bulan lalu saat aku bertanya-tanya apakah aku bisa menemukan sebuah keajaiban yang dapat menghilangkan penyakitku?” Pak Syukur mengangguk pelan,
 

“Menemukan Rumah Tuhan yang indah dan tenteram itu, telah membuka mataku betapa lalainya aku selama ini. Sejak hari itu aku mendekatkan diri padaNya, aku banyak berdoa, memohon ampunan dan rahmatNya. Tak lupa aku menyumbangkan sebagian penghasilanku untuk menolong mereka yang membutuhkan bantuan.” sesaat Doni terdiam, ia mencoba meredam rasa sakit yang berkecamuk di dadanya. “Untuk semua yang telah aku lakukan, telah aku berikan beberapa bulan ini, Allah ternyata masih tak berkenan memberikan keajaiban itu untukku.” ujarnya dengan nada getir.

Doni kembali memandang lelaki tua bersahaja yang masih setia menemaninya, “Tapi aku tak bersedih, pak…” lanjutnya, “Aku tak marah atas apa yang menimpaku, dan aku tak menyesal telah berbuat kebaikan pada mereka meskipun awalnya aku mengharapkan sebuah kesembuhan dari Tuhan sebagai balasannya. Kini aku merasa lebih tenang, lebih bahagia, dan lebih dekat padaNya.”

Meskipun terlihat pucat namun di wajahnya terpancar senyum kebahagiaan itu, “Pesan terakhir bapak di catatan yang aku baca lima bulan lalu, lagi-lagi membuka mataku untuk yang kedua kalinya…”

Sore itu, dengan didampingi istri dan anaknya, Doni mengehembuskan nafas terakhir dengan tenang.

"Dan pesanku yang terakhir, nak. Tak semua orang cukup beruntung bisa mendapatkan keajaiban dariNya. Dan bila engkau termasuk di antara yang tak beruntung itu, janganlah bersedih, janganlah kecewa. Karena engkau sendiri pun akan memberikan keajaiban-keajaiban untuk kaum-kaum tak mampu yang membutuhkan begitu banyak keajaiban demi mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Dan itu, tak kalah berharganya…’

Renungan:
Sebaiknya kita memberi sama halnya seperti kita akan menerima, dengan riang, cepat, dan tanpa keraguan; Karena sesungguhnya tidak ada karunia dari manfaat yang menempel pada jari-jari kita


Read More

Rahasia Kehidupan Dan Kunci Kebahagiaan



Seorang pria mendatangi seorang guru yang bijaksana, "Guru, saya bosan hidup. Rumah tangga berantakan. Usaha kacau. Saya ingin mati."

Sang guru tersenyum, "Oh, kamu sakit. Dan penyakitmu pasti bisa sembuh."

"Tidak Guru, tidak. Saya tidak ingin hidup," tolak pria itu.

"Baiklah. Ambil racun ini. Minum setengah botol malam ini, sisanya besok sore jam 6. Jam 8 malam kau akan mati dengan tenang."

Pria itu bingung. Setiap guru yang ia datangi selalu memberikannya semangat hidup. Tapi yang ini malah menawarkan racun.

Sampai rumah, ia minum setengah botol racun. Ia memutuskan makan malam dengan keluarga di restoran Jepang yang sudah lama tak pernah ia lakukan. Untuk meninggalkan kenangan manis, ia pun bersenda gurau dengan riang. Sebelum tidur, ia mencium istrinya dan berbisik, "Sayang, aku mencintaimu."

Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk berjalan pagi.

Pulang ke rumah, istrinya masih tidur. Ia pun membuat dua cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu untuk istrinya.

Istrinya merasa aneh, "Sayang, apa yang terjadi dengan kamu? Selama ini, mungkin aku yang salah. Maafkan aku yah?"

Di kantor, ia menyapa setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini, Boss kita kok aneh yah?" Ia menjadi lebih toleran, apresiatif terhadap pendapat berbeda. Ia mulai menikmatinya."

Pulang jam 5 sore, ternyata istrinya menunggu di depan pintu. Sang istri menciumnya, "Sayang, sekali lagi mohon maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkanmu."

Anak-anak pun berani bermanjaan kembali padanya. Tiba-tiba, ia merasa hidup begitu indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan racun yang sudah ia minum?

Bergegas ia mendatangi sang Master, "Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah sembuh. Bila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu.

Bersyukurlah!! Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan, jalan menuju ketenangan."

Read More

Kisah Nyata Anak 6 Tahun Bertahan Hidup Sendiri, Hanya Ditemani Anjing


Kisah nyata ini terjadi pada tahun 2010 yang lalu, tentang seorang anak bernama Ah Long yang hidup sendiri di sebuah desa di kaki bukit Gunung Malu, Liuzhou di provinsi Guangxi, China. Umurnya baru 6 tahun, kedua orang tuanya telah meninggal dikarenakan mengidap penyakit AIDS berturut-turut di tahun 2008 dan 2010.

Orang-orang di sekitarnya mengucilkannya karena Ah Long dilahirkan dengan virus HIV yang mengalir di darahnya. Ah Long harus menjaga dirinya sendiri karena kebanyakan orang takut untuk mendekat, Satu-satunya sahabat sejatinya adalah anjingnya yang bernama Lao Hei yang selalu setia menemani disampingnya.


Satu-satunya keluarga yang ia miliki adalah neneknya yang berusia 84 tahun. Kadang si nenek mengunjunginya dan memasak untuknya, namun tidak bersedia tinggal bersamanya. Karena penyakitnya, orang-orang di sekitarnya tidak menghiraukan Ah Long. Pihak sekolah tidak mau menerimanya lagi, bahkan para orang tua murid sepakat akan mencelakainya apabila Ah Long muncul ke sekolah dan bermain dengan anak-anak mereka.

Bahkan dokterpun enggan mengobatinya apabila Ah Long kecil sakit, penderitaan anak itu bertambah ketika  Departemen Kesejahteraan juga tidak mau mengurus anak tersebut. Biro Sipil setempat menyediakan dana sebesar 70 yuan per bulan atau sekitar Rp 90.000 per bulan.


Jumlah ini tidak cukup untuk anak kecil seumur Ah Long untuk hidup. Ah Long menjalani kehidupan sendiri. Dia menanam cabai, daun bawang dan memelihara ayam. Dia mencuci dan memasak sendiri. Dia tidur dan bermain dengan anjingnya.

Ada juga yang bersimpati dengan Ah Long dengan memberikan pakaian, makanan dan selimut bekas. Ada yang memberikan Ah Long 20 kilogram beras dan 5 kilogram mie, ada juga yang membawakan dia sebuah surat kabar mingguan untuk mengikuti berita dunia terbaru.

Sejak cerita Ah Long diangkat oleh media, ia mendapatkan banyak perhatian termasuk dari pemerintah Cina. Sebuah rumah amal di kota Liuzhou setuju untuk mengurusnya. Ah Long juga mendapat perhatian dari orang-orang yang baik hati. Ah Long pun dibangunkan rumah baru tepat di sebelah rumahnya yang lama dengan dua kamar tidur, satu ruang keluarga dan satu toilet.

Rumah Baru Ah Long

Sebenarnya masih banyak bocah-bocah seperti Ah Long, tidak hanya di China di negara-negara lainpun mereka banyak yang diabaikan dan hidup sebatang kara. Hidup yang mereka jalani bukan kesalahan mereka, mereka tidak bisa memilih dilahirkan dengan mengidap HIV yang diturunkan oleh orang tuanya.

Ah Long walaupun dilarang sekolah dia tetap rajin belajar

Siap-siap untuk makan malam ya nak....??



Mencari kayu bakar sendiri di hutan untuk memasak makanan



Ah Long tanpa temen, tetapi tetap kelihatan riang selalu bermain


Bermain dengan sepeda pemberian dan anjing kesayangannya


Semoga cita-ciamu menjadi pemain bola tercapai nak....!

 Ah Long mendapat tunjangan Rp 90 ribu per bulan... mana cukup??


Menanam cabe dan memetik hasilnya untuk lauk makan


Luka bakar di tangan Ah Long ketika memasak

Makanan yang sederhana ala Ah Long.....


Lihatlah anak seumur dia sudah mandiri, mandi sendiri


 Menjadi seorang pesilat tangguh mungkin cita-cita Ah Long

Wajah yang sangat polos dari seorang bocah












Read More

© Bomot, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena